- Faktor-faktor yang menyebabkan Konflik dalam rumah tangga
Ada empat kategori masalah yang dapat membawa rumah tangga kepada konflik, Masing-masing masalah dapat membawa pada keretakan rumah tangga, perceraian atau bahkan kehancuran yang lebih parah dari semua itu. Secara sederhana, mari kita lihat masing-masing kategori masalah tersebut yaitu:
- Perbadaan Psikis
Suami istri yang secara psikis belum matang, mudah terpengaruh oleh perbedaan-perbedaan yang sepele. Mereka cepat sekali mereaksi karena perbedaan selera makanan, perbedaan cara menghidangkan ataupun perbedaan perilaku ketika makan. Mereka bisa mengalami konflik terbuka maupun tertutup hanya gara-gara persoalan semacam ini.
Sebelum berbicara lebih lanjut, rasanya lebih baik kita lihat sekilas apa yang dimaksud konflik tertutup dan konflik terbuka. Konflik tertutup artinya, suami istri merasakan kekecewaan yang mendalam atau kemarahan yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang cukup lama, tetapi tidak dinyatakan secara terbuka. Mereka tidak mendialogkan, juga tidak mengungkapkannya dalam bentuk kemarahan. Hanya, mereka “bertengkar” dalam hati.
Konflik terbuka berarti, masing-masing melontarkan kekecewaannya atau kemarahannya secara frontal kepada pasangannya dan masing-masing tidak bisa saling menerima. Ini menyebabkan mereka melakukan pertengkaran dan setiap pertengkaran yang tidak diikuti ishlah dapat menyebabkan mereka merasakan kekecewaan dan kemarahan yang semakin kuat.
Kadang perbedaan yang sepele itu bisa menyebabkan konflik terbuka. Tetapi, sejarah keruntuhan rumah tangga ternyata masih saja menyimpan catatan bahwa perbedaan-perbedaan yang sungguh-sungguh sanggup untuk menghancurkan bangunan rumah tangga. Ironisnya, yang membuat warna rumah tangga menjadi kelam kadang bukan suami dan istri, tetapi saudara-saudara dari suami atau istri. Keadaan ini kadang muncul dan menjadi masalah yang meluas karna mereka tidak berkesempatan untuk belajar berumah tangga secara alamiah dan wajar, misalnya karena mereka belum hidup di rumah sendiri.
2. Sikap Empati
Suatu ketika istri ingin membuat kejutan yang menyenangkan kita. Saat itu, orang bilang ulang tahun kita. Ia buat puding yang agak mewah dibanding biasanya tanpa sepengetahuan Anda. Sekali lagi, ini dilakukan istri Anda karena karena ingin membuat kejutan yang menyenangkan Anda. Nanti, ia akan menghidangkan puding istimewa itu kepada Anda begitu pulang kerja. Dan ia akan bahagia manakala melihat Anda berseri-seri, apalagi kalau mau mengucapkan terima kasih dan sedikit pujian buat istri.
Tetapi ketika datang dan memperoleh sambutan semacam itu, Anda justru tidak bahagia. Anda sedih. Bukankah ulang tahun berarti kepergian seseorang ke alam kubur semakin dekat? Mengapa kematian yang mendekat sebelum kematian itu datang disambut bahagia oleh orang lain?
Tak hanya itu, Anda bahkan marah. Ulang tahun, menurut Anda, hanya penghambur-hamburan uang untuk sesuatu yang tidak perlu. Ulang tahun hanya membuat orang untuk cenderung kepada dunia yang sebentar dan tidak mendorong untuk mempersiapkan mati. Padahal meninggalkan kecintaan
terhadap dunia dan membangkitkan kecintaan terhadap kehidupan sesudah mati, alangkah sulitnya. Mengapa harus dipersulit lagi dengan pesta-pesta ulang tahun?
Alhasil, istriAnda kecewa. Sangat-sangat kecewa (kecuali jika istri anda seperti Fathima az -zahra yang segera istighfar begitu Rasulullah tidak jadi masuk ke rumahnya karena melihat ada kelambu terpasang). Menurut istri Anda, tidak seharusnya Anda bersikap demikian. Mestinya Anda bisa sedikit toleran. Toh, kita dianjurkan bersyukur. Pesta ulang tahun itu sebagai bentuk syukur. Sementara Anda tetap tidak bisa menerima. Sikap istri sangat berlebihan.
Peristiwa ini akhirnya membuat istri Anda tak acuh terhadap Anda. Ia kurang memperhatikan urusan taba’ul (pelayanan) suami. Apa gunanya bersikap penuh perhatian kepada suami macam itu kalau dia tidak bisa berterima kasih ? Kalau ini terjadi, maka pintu konflik telah terbuka. Jika terus berlangsung, konflik yang benar-benar terbuka bisa meledak. Suami istri melakukan pertengkaran atas sebab puding ulang tahun.
Pertengkaran yang terjadi karena perbedaan sikap terhadap ulang tahun ini, sangat mungkin meledak karena tidak adanya tabayyun (saling memberi dan meminta penjelasan) secara lapang dada. Karena tidak ada tabayyun, masing-masing berjalan dengan anggapan dan prasangkanya sendiri-sendiri. Keduanya tidak saling meluruskan kekeliruan, tetapi saling menyalahkan. Dan orang cenderung tidak mau disalahkan, meskipun mereka suka kalau diingatkan terhadap kesalahannya.
3. Menyalahkan Pasangan dan Saling Menyalahkan.
Ini lah yang sering terjadi. Sikap tidak mau melakukan tabayyun ini membuat masing-masing tidak mampu memperbaiki hubungan. Mereka tidak menemukan titik temu dan saling menyadari kekhilafan untuk kemudian menemukan yang terbaik. Dalam bahasa agama mereka tidak bisa melakukan ishlah (perbaikan). Melakukan ishlah tidak berarti suami istri mengkompromikan apa pun yang dianggap tidak sesuai, asal keharmonisan hubungan keduanya bisa terjaga dengan baik. Tidak demikian Lebih-lebih kalau ketidaksesuaian sikap itu menyangkut hal-hal yang menyangkut keyakinan tentang benar dan salah. Akan tetapi, keduanya menmukan titik perdamaian ketika harus mengoreksi perilaku yang salah.
- Kiat-kiat menyelesaikan konflik.
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dan mudah-mudahan Allah selalu menolong kita dalam menyelesaikan perkara ini, yaitu:
- Sabar
Saat konflik merebak, maka yang dibutuhkan adalah kesabaran. Kesabaran meliputi kerelaan menerima, ketahanan menghadapi dan kemampuan menahan diri dari melakukan sesuatu yang mampu ia lakukan, tetapi jika dikerjakan tidak banyak mendatangkan kemaslahatan.
2. Dialog
Dialog suami istri dimaksudkan untuk mengikis hambatan-hambatan psikis. Kadang masalah muncul bukan karena tidak ada kecocokan di kedua belah pihak, melainkan karena sangat kurangnya kesempatan bagi keduanya untuk saling berbincang dari hati ke hati. Boleh jadi, hanya dengan dialog atau sekedar obroloan ringan, konflik-konflik yang kelihatan sulit untuk dipecahkan dapat mencair sendiri
3. Mencari Penengah
Jika konflik sudah tak bisa diatasi dengan dialog --mungkin karena keduanya sudah tidak bisa berdialog meskipun mereka merasa berdialog-- sementara keadaan semakin kritis dan pertengkaran semakin runcing, maka kehadiran penengah yang adil sudah diperlukan. Kita mengambil penengah dari keluarga kita. Merekalah yang akan bertindak sebagai hakim.
Komentar
Posting Komentar